Sunday Morning
“Ih Kakak, itu ditambahin garem sedikit loh, jangan langsung mbok masukin itu sayurnya, masukin sek itu bawang seng tadi mbok iris.” omel seorang wanita cantik dengan apron berwarna beige terpasang pada tubuhnya sembari sibuk memotong kacang panjang.
Pemuda yang diomeli hanya menghela nafasnya pelan sebelum meraih wadah tempat garam dan menjumput isinya kemudian ditaburkannya kedalam panci berisi air mendidih, “Iya, terus apa lagi, Mi??” tanya pemuda itu kearah Mami nya yang dengan sigap menyodorkan sebaskom penuh kacang panjang yang tadi diirisnya.
“Masukin ini, habis itu tunggu agak lembek baru masukin labu dan lainnya. Mami mandi dulu,” jawab wanita itu sembari melepas apronnya dan berjalan tergesa keluar dari dapur. “Hanan, jangan lupa nanti diicip dulu kalo misal kurang asin atau kurang gimana gitu ditambahin ya Kak itu bumbunya, udah tau sih??” seru wanita itu sembari kembali menoleh kebelakang membuat pemuda yang masih dibalik kompor jadi mengangguk.
Di hari minggu ini, Hanan pagi-pagi sudah diteriaki oleh Mami nya agar menemani wanita itu memasak besar karena katanya mau ada yang datang siang nanti.
“Hmmmm masak apa nih, anak gantengnya Papi??” celetuk sosok lelaki dewasa yang sudah rapi dengan setelan baju rumahannya.
Hanan yang masih menatapi buih air yang mendidih bersamaan dengan irisan kacang panjang yang mengambang itu jadi mendongakkan kepalanya menatap pada sang Papi yang baru saja datang, “Disuruh masak sayur asem sama Mami. Papi meh kemana pagi-pagi wes rapi pol?? Hari minggu loh ini.” sahutnya sembari menunjuk kearah setelan rapi yang dikenakan pria itu.
Arman terkekeh pelan sebelum mendudukkan diri disalah satu kursi meja makan, “Yo nggak kemana-mana lah, nek pake baju jelek terus nanti pas tamu dateng lak malu.” katanya membalas sembari membuka iPad miliknya.
“Emang siapa seng meh dateng sih segala dimasakin sayur asem. Biasanya Mami paling anti ngasih makan tamu pake makanan begini,” keluh Hanan sembari memasukkan sayuran yang tersisa kedalam panci itu lalu menutupnya sebelum mematikannya beberapa menit setelahnya.
“Ada lah tamu, nanti kesini agak siangan.” sahut Arman membuat Hanan jadi mendecih sebelum melangkah kearah kulkas dan mengeluarkan satu karton susu almond dan menuangnya kedalam mug yang dibawanya tadi.
“Pi, aku boleh gak sih beli mobil??” tanya anak itu hati-hati sembari mendudukkan diri disebrang Arman yang masih menatap pada layar ipadnya.
Pria separuh baya itu lalu mendongak sebelum tersenyum, “Kamu lak dulu wes tak tawari beli mobil apa beli motor, katamu pengen motor jadi yawes Papi beliin motor,” katanya sembari menaruh asal ipadnya dan bersidekap dada, “Lek kamu sekarang minta mobil, apa yang bakalan mbok tuker biar dapat mobil?? Kak, Papi itu duitnya masih ada limit, nek kamu mau mobil ya harus nabung dulu dan nggak bisa harus iya enggak sekarang banget.” tanyanya kearah Hanan yang terdiam.
“Motorku, motorku aja dijual.”
Arman jadi mengerutkan keningnya heran, pasalnya anak itu dulu sangat amat gemar dengan motor besar miliknya itu sampai telah menghabiskan hampir semua uang jajannya untuk memodifikasi motor itu, *“Suddenly??”
Pertanyaan itu malah membuat Hanan jadi menghela nafas panjang sebelum mengangguk cepat, “Nggak tiba-tiba juga sih. Aku udah lama mikirin ini,” kata anak itu membuat kening Arman jadi semakin mengerut.
“Ini nggak gara-gara kamu putus sama Andrew kan??”
Hanan mengangguk, “Sebenernya iya.” sahut pemuda itu sendu sembari menundukkan kepalanya.
“Whats wrong with you two, Kak?? Papi pikir kalian masih saling sayang.”
“I dont know, aku kayak nggak deserve Andrew. He's so pure dan dia juga super kind person, aku wes terlalu banyak menyakiti dia.” cicit Hanan membuat Arman jadi menghela nafas dan beranjak untuk duduk lebih dekat dengan sang anak.
“Kak, Papi don't know about your problems, tapi Papi selalu nyaranin buat komunikasi. Communication is the key.” kata Arman sembari menepuk-nepuk pelan bahu sang anak, berusaha menyalurkan energi.
“Haduhh apasih ini pagi-pagi wes mellow ae ketokane... ck ck ck.” celetuk Alice dari arah dalam yang sudah terlihat sangat cantik dengan balutan dress selutut bermotif bunga dan juga wangi parfum yang semerbak harum.
Arman terkekeh pelan sebelum melambaikan tangannya menyuruh istri tercintanya untuk ikut duduk dan menyemangati Hanan yang tampak murung, “Siniloh Mi, ini si Kakak kayak sedih gitu.”
“Lohhh, kenapaa??? Opo gara-gara Mami suruh masak sayur asem tadi??” tanya Alice sembari berjalan mendekat dan mengelus surai sedikit kecoklatan milik Hanan yang spontan menggeleng menampik tebakan Mami nya itu. “Terus kenapa?? Masih masalah seng minggu lalu??”
“Masalah minggu lalu opo?? Kok Papi gak dikasih tau.” hardik Arman membuat Hanan yang berada ditengah-tengah keduanya jadi mendesis keras, “Shhhh Papi sama Mami please lah yoo, jangan bikin aku harus cerita dari a sampe z lagi.” kata Hanan sembari beranjak membuat Mami dan Papi nya jadi menatapnya heran.
“Loh he gimana talah wong ditungguin ini Mami nanya lohh masih masalah seng seminggu yang lalu apa endak???”
Hanan memilih tak menghiraukan seruan Mami nya yang berkali-kali memanggilnya yang kini sudah melangkah lebar kearah anak tangga menuju kamarnya, “Nanti aja nanti kapan-kapan aku cerita.” katanya membuat Arman dan Alice jadi mendesah kecewa.
Setelah menghabiskan hampir lima belas menit waktu dikamar mandi, Hanan terlihat lebih fresh dengan rambut kecoklatannya yang masih sedikit basah.
Pemuda itu kini sudah mendudukkan diri dikursi balkon yang dulu sering kali disambangi orang terkasihnya. “Ck. Minggu gini kan waktunya Andrew main kesini,” gumamnya sembari memutar-mutar stylus pennya.
Tak lama setelahnya bunyi telepon berdering membuat Hanan jadi menghela nafas panjang, “Halloo???” sapanya setelah menggeger tombol hijau guna menjawab panggilan dari sebrang sana.
“Futsal ayo, aku ambek Winar wes ndek tempat biasa sama Venice dan kumpulane.”
Hanan menatap mengawang pada langit cerah dihadapannya setelah Barra —sang penelepon menuturkan maksut dan tujuannya meneleponnya, “Harus banget saiki??? Aku gak oleh pergi ambek Mami, nanti ada tamu soale.” balasnya setelah berpikir sejenak.
Terdengar suara decakan keras dari sebrang telepon disusul suara Winar yang mengomel, “Halahh alasan ae cok dapuranmu.” Hanan terkekeh pelan mendengarnya, dirinya tak sepenuhnya berbohong dengan alasannya yang bilang tidak diperbolehkan Mami nya untuk keluar, karena memang nyatanya begitu.
Alice tadi sebelum pamit mandi telah berbicara tentang Hanan yang tidak boleh meninggalkan rumah sebelum tamu pulang.
Alasan yang kedua Hanan tidak ingin bergabung adalah satu pemuda yang mati-matian dihindarinya —Andrew.
“Iyo, gak boleh keluar aku ambek Mami. Nanti malem ae, tak bayarin ndek club e Om Bintang.” katanya membuat Barra berseru heboh sebelum akhirnya mematikan sambungan sepihak setelah mengiyakan traktirannya.
Hanan lagi-lagi menghela nafas panjang sebelum kembali berkutat dengan tugas menggambarnya. Berkali-kali menorehkan garis namun pada akhirnya lembar kerja anak itu tetap kosong tanpa ada bangunan dan sejenisnya. “Jancok, gara-gara Barra nih kan jadi inget terus ambek Andrew.” keluhnya sembari meletakkan ipad dan stylus pennya acak kearah meja disebelahnya.
Sebuah intro musik mengalun apik dari speakers didalam kamar milik Hanan yang tersambung dengan ponsel miliknya. Lagu Everytime dari A1 menjadi pilihannya kali ini.
Lately I'm not who I used to be Someone's come and taken me Where I don't want to go If I knew exactly what I have to do In order to be there for you When you are feeling low
And all the things we ever wanted Were once yours and mine yNow, I know we can revive it* All the love we left
Hanan tersenyum getir sembari terus ikut menyenandungkan lagu itu dengan pandangan mengawang pada memori-memori kisahnya bersama Andrew dulu.
Everytime I kiss I feel your lips and Everytime I cry I see your smile and Everytime I close my eyes I realise that Everytime I hold your hands in mine The sweetest thing my heart could ever find And I have never felt this way Since the day I gave your love away
Deru suara mobil terdengar memasuki pekarangan rumahnya bersamaan dengan suara ketukan di daun pintu kamar pemuda itu, membuatnya sedikit berjengit kaget saat terlalu terhanyut di lagu itu sebelum beranjak dan mematikan speaker dan berjalan membuka pintu.
Alice disana dengan senyuman terpatri dibibir wanita separuh baya itu membuat Hanan ikut tersenyum, “Kenapa??” tanya pemuda itu membuat sang Mami bersemangat.
“Ayo kak, turun, tamunya wes datang.” ucap wanita itu sembari menarik lengan Hanan untuk berjalan mengikutinya.
“Ini nggak seperti seng tak pikir yokan, Mi??” tanya Hanan sembari masih terus melangkah mengekori Maminya.
Alice jadi mengerutkan kening sembari menoleh kebelakang, “Emang apa seng mbok pikir??” pertanyaan yang Hanan lontarkan dibalas tanya oleh sang Mami, membuat pemuda itu berdecak sebelum menghentikan langkahnya.
“Sumpah sih, ini aku nggak lagi meh dijodohin kan ya???”
Alice terkekeh pelan sebelum beralih menepuk ringan lengan sang anak, “Yo nggak lah. Pikiran dari mana itu?? Kayak kamu nggak laku ae pake dijodoh-jodohin segala.” semprot wanita itu membuat Hanan mencibir.
Ya bukannya nggak laku sih ya, tapikan seng tak mau kayak e gak mau ambek aku, batin Hanan berteriak sembari lanjut melangkah menyusul Mami nya yang sudah hampir sampai pada turunan tangga.
“Lohh Hanan, tak pikir kamu ikut futsalan sama Venice dan Nareshta.” celetuk satu suara yang Hanan hafal nada suaranya diluar kepala, suara milik salah satu lelaki terdekat dengan mantan kekasihnya, suara Apo —Papo dari Andrew.
Hanan tersenyum getir sembari menundukkan kepalanya menyapa, “Hallo Om. Iya tadi wes ditelepon sama Barra cuma kata Mami aku gak boleh keluar karena mau ada tamu, ternyata Om Papo tamunya hehehe.” balas anak itu sembari terkekeh guna menyembunyikan kecanggungannya.
Apo lalu terkekeh pelan sebelum mendekat dan mengelus puncak kepala Hanan sembari berbisik, “I have to tell you something special,” bisiknya membuat Hanan jadi mengerutkan keningnya penasaran.
“Apa Om??”
“Andrew di toilet depan, samperin aja tungguin disitu. I know both of you lagi dalam masa berduka habis putus, tapi Papo minta kalian komunikasiin baik-baik lagi ya.” kata pria paruh baya itu sembari menepuk-nepuk pelan bahu Hanan sebelum berlalu meninggalkan pemuda itu dalam kebingungan.
Namun pada akhirnya Hanan tetap berjalan menghampiri pintu toilet tamu dirumahnya dengan jantung berdegup kencang.
Tak lama setelah pemuda itu berdiri didepan pintu toilet, suara kran wastafel berbunyi tanda Andrew telah menyelesaikan urusannya, dan kemudian pintu berwarna putih gading itu terbuka perlahan menampakkan sosok pemuda jangkung dengan balutan sweater mustard berdiri sama terkejutnya dengan Hanan.
“Hai, Hanan. Long time no see.” sapa pemuda jangkung itu dengan canggung membuat Hanan menelan ludah dengan susah payah. “Ada apa??” tanyanya lagi sembari mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.
“I want to talk, Drew.”
Andrew menyerngitkan keningnya, “Bicara apa?? Di toilet banget??” tanya anak itu sembari menunjuk kearah toilet dibelakangnya.
Hanan menghela nafas panjang sebelum menarik sebelah tangan Andrew dan membawa pemuda jangkung itu naik kearah kamarnya berada.
“Aku meh nanya sama kamu, apa alasanmu mutusin aku??” tanya Hanan setelah keduanya terduduk manis dikamarnya dengan Andrew di single sofa pada pojok kamarnya yang langsung menjurus kearah ranjang tempatnya duduk saat ini.
Andrew memilih bungkam dan berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak terjadi kontak mata dengan sang mantan kekasihnya itu.
“Do you ever love me, Drew??”
Kalimat itu membuat Andrew yang sejak tadi diam dengan pandangan mengarah pada jendela besar disampingnya jadi menoleh dengan mata menatap nyalang kearah Hanan disana, “*Did you just— ngatain aku nggak pernah cinta ambek kamu??? Really, Hanan?? Setelah semua seng tak kasih buatmu?? Bahkan waktu quality time ku ambek Daddy Papo pun berkurang sejak kamu dipindahin ke kantor luar kota yang bikin aku riwa riwi tiap minggu cuma buat nengokin pacarku??”
Hanan bungkam, pemuda itu mengulum bibirnya sembari menundukkan kepalanya dan menatap pada jemari kakinya yang bergerak gelisah.
“Kamu kali seng gak pernah cinta ambek aku.” tuduh Andrew sembari bersidekap dada, “Kan kamu seng dulu pernah bilang kalo you haven't completely forgotten your past. Mungkin aja kan ya kamu nerima aku pas itu gara-gara kamu kasihan ambek aku seng ngemis cintamu banget.” lanjut pemuda jangkung itu dengan kekehan ringan yang malah membuat Hanan meneguk ludahnya susah payah.
“I do, i do love you. But i think i dont deserve you,” cicit Hanan membuat tawa Andrew semakin mengudara.
“See??? Kamu dewe seng bilang kamu nggak pantes buatku kan?? Jadi ndak salah dong aku mutusin kamu??” hardik Andrew dengan nada yang terdengar seperti menghakimi.
Hanan lagi-lagi meneguk ludahnya sebelum mendongkakkan wajahnya dan menatap pada Andrew dengan mata berkaca-kaca, “I know. And im sorry for bothering you dengan ngajakin kamu ngomong gak jelas gini. Kamu bisa keluar dan gabung sama Daddy Papo mu ndek belakang.” kata pemuda itu sejurus dengan usirannya membuat Andrew berdecak sebelum beranjak.
Pemuda yang lebih pendek itu terisak kecil sembari menyembunyikan wajahnya yang telah berurai air mata, berpikir bahwa dirinya telah ditinggalkan.
Andrew menghela nafasnya pelan, menatap iba pada orang terkasihnya disana dengan punggung bergetar. Pemuda jangkung itu perlahan mendekat dan mengalungkan lengannya ke bahu Hanan dari belakang. “You know, Hanan, sometimes aku selalu tanya ambek diriku sendiri soal kamu nerima aku atas dasar terpaksa atau kasihan. Aku selama pacaran ambek kamu hampir dua tahun itu selalu meneng ae tiap kamu nanya apa seng tak lihat dari kamu, dan beberapa bulan terakhir sebelum aku akhirnya mutusin kamu itu aku udah muak banget ambek pertanyaanmu itu. Nek kamu segitu nggak percayanya ambek aku, mendingan aku mundur aja gak sih?? Hahaha yakan, kamu yang bikin aku mundur, Nan.” bisik Andrew dengan satu tarikan napas lalu melepaskan rangkulannya membuat Hanan jadi semakin terdiam dengan isakan yang berusaha ditahannya mati-matian.
“Kamu tau nggak, insecure itu boleh tapi kamu juga harus sadar nek semua orang berhak dicintai tanpa mandang apa ae seng dipunyai. Aku pikir kamu belum sepenuhnya mencintai dirimu sendiri, jadi, please love yourself first. Jangan berharap dicintai orang nek kamu belum mencintai dirimu sendiri, Hanan.” kata Andrew sembari beranjak setelah menepuk pelan bahu Hanan. “Aku keluar dulu.”
Setelah kepergian Andrew beberapa menit yang lalu, Hanan yang masih bergeming jadi menghela nafas panjang setelah menyelesaikan sesi menangis diam-diamnya. “Aku emang beneran nggak deserve Andrew.” gumamnya sembari melemparkan tubuhnya kearah ranjang dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.